Sabtu, 26 Januari 2019

RILIS PERS


Ini hari Minggu. Di kampung. Aku mulai mengetik #30haribercerita (lagi) setelah sekian hari absen. Ternyata tidak mudah konsisten menulis. Sedih. Baru menulis dua artikel di blog, absen berhari-hari kemudian karena kesibukan (hilih alasan aje lu tong) dan kebuntuan ide.

Ini hari Minggu, (harus) ngetik di laptop ditemani secangkir energen buatan ibu. Kerja pers tidak mengenal kata libur meski idealnya jam kantor(ku) memberi jatah. Iya. Bikin pers rilis. Berbahan narasi dari rekan reporter yang dua hari ini liputan tentang stem cell.

Ada ratusan ribu (atau bahkan di angka juta?) website (atau domain, ya?) yang beredar di Indonesia. Dari yang akuntabel dan dapat dipercaya, sampai konten-konten yang dibuat sekenanya. Padahal tidak ada kata main-main untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang adanya informasi yang akurat (hilih serius banget, sih).

Seperti biasa, salah satu dari pekerjaanku di kantor adalah membuat rilis pers. Entah dari liputan yang aku sendiri penulisnya, atau dari rekan reporter lain. Yang jelas, aku yang menyusun dan menyebarluaskan rilis pers untuk stakeholder kampus dari ranah media: cetak, online, televisi, dan radio. Kira-kira ada tak kurang dari 50 alamat surat elektronik.

Rilis pers ini adalah bagian dari tugas humas dalam rangka memberikan penyediaan informasi publik. Penyebaran rilis pers kami lakukan melalui surat elektronik. Entah akan dimuat si pemilik media atau tidak, terserah mereka. Monggo. Bebas. Simbiosis mutualisme, dong. Kami membutuhkan mereka untuk membantu publikasi. Sementara mereka membutuhkan kami selaku penyedia (konten) informasi.

Ada bermacam-macam karakter wartawan ketika mendapat kiriman rilis pers. Maklum. Mereka manusia yang beragam, dari latar pendidikan yang beragam, dan berasal dari media yang beragam pula. Dari yang bergaji cukup (sedikit) sampai yang cukup banyak. Dari yang kritis dan tidak mau menerima rilis mentah-mentah, sampai yang tidak mau ambil pusing dan memilih meng-copy paste apa adanya rilis untuk dimuat di media mereka. Plek-ketiplek tanpa kurang satu katapun. Typo ya tetap typo. Duh.

Yang saya senang tentu tipe pertama. Yang jeli membaca rilis. Jika dirasa informasi rilis pers menarik, yang bersangkutan menghubungi kami dan meminta informasi lanjutan. Keesokan harinya, bahan dari rilis ditambah informasi yang dihimpun secara mandiri oleh penulis, tersaji satu artikel lengkap dan dimuat di koran harian.

Atau, jika informasi di dalam rilis pers memang sudah lengkap, wartawan tinggal memparafrase atau menulis ulang, dan membuatnya menjadi satu artikel baru. Menyenangkan. Wartawan begini yang sangat layak diacungi jempol.

Tipe wartawan yang kedua, sepertinya tidak perlu –atau lain kali saja- aku membahasnya. Hehe.
Cukup. Ini pukul 9.30. Di kampung angin sedang kencang-kencangnya karena sedang musim grobogan. Aku harus segera berkemas untuk kembali ke Surabaya siang nanti dan bertemu dengan aktivitas yang –mau tidak mau- harus (diciptakan) menyenangkan. Hehe. Dadah. Mwah.

Senin, 21 Januari 2019

Sambel Jeruk

Sambel Jeruk


Hari ke-2

Setiap kali libur atau menghabiskan waktu berjarak cukup lama dengan Surabaya, selain berkeliling kota, saya selalu kangen dengan salah satu makanannya. Bukan rujak cingur atau lontong balap, melainkan penyetan a.k.a sambelan.

Hampir di setiap sudut di kota Surabaya begitu mudah untuk dijumpai sambelan. Salah satu yang kemudian jadi favorit saya selaku anak kos yang sudah tujuh tahun menghabiskan hari-hari di Gubeng Airlangga adalah SAMBEL JERUK. Sambelan yang khas, salah satunya karena jeruk limau-nya.

SAMBEL JERUK. Ya, kami, saya dan teman-teman kos sewaktu kuliah, biasanya menyebut penjual dengan sebutan Pak Sambel Jeruk. Tujuh tahun berlalu dan bahkan kami tidak tahu siapa nama asli si Bapak.

Semasa kuliah, hampir tiap hari kami membeli menu makan malam di Sambel Jeruk. Mbungkus dan kemudian makan bersama di kos. Dulu, hari Minggu malam adalah hari libur si Bapak berjualan. Saking seringnya kami ke sana, jika ada 30 hari dalam satu bulan, mungkin hampir 20 hari di antaranya kami membeli makan malam di sana.

Penjual Sambel Jeruk adalah pasangan suami isteri yang super sumeh (baca: ramah dan murah senyum). Kadang, dalam berjualan, si Bapak dan Ibu dibantu oleh anak-anaknya. Jika bukan anak gadis yang telah menikah beberapa tahun yang lalu, ya dibantu anak laki-lakinya yang belum lama lulus STM.

Meski belum bisa disebut tua, selera Pak Jeruk macam Bob Dylan, Elvis Presley, Jimi Hendrix, dan grup-grup band aliran pop-rock Barat era 60-70an. Perihal hal ini saya juga belum begitu lama menyadari.

Saking hobinya kami makan di Pak Jeruk, salah satu dari kami bahkan pernah ada yang nyeletuk “Pokoknya nanti kalau udah lulus, kita reunian di sini yaa”. Saking favoritnya di mata kami anak kos waktu itu. Tujuh tahun berlalu dan belum juga kesampaian.

Salah satu kebaikan Bapak Sambel Jeruk yang hingga kini membekas di hati saya adalah ketika laptop salah seorang teman tertinggal usai kita pesan makan sepulang diskusi di kampus. Kami baru menyadari 3-4 hari kemudian saat sudah hopeless dimana laptop berada. Teryata aman, tertinggal di lapak Pak Jeruk.

Kini, pergi makan ke Pak Jeruk sudah tidak sesering dulu. Sekali dalam satu bulan sudah bangus malah.

Ketika teman-teman kantor hobi ngajak mencoba makanan-makanan baru, Chinese food, Korean food, dan makanan asing lainnya, kalau kurang berkenan saya cukup bilang “Ya harap maklum, lidah penyetan”.

Minggu, 20 Januari 2019

PLASTIK

Memulai mengurangi sampah plastik dengan memakai tumbler. (Dok. Pribadi)

Hari ke-1

Pernahkah kamu menghitung, dalam sehari, berapa banyak sampah plastik yang kamu buang? Bungkus belanja dari mini market; bungkus membeli makan di warung; belanja sayur dan buah di pasar; gelas plastik tempat teh, kopi; bungkus snack, kue; dan apapun, yang menggunakan plastik habis pakai.

Pernahkah sepintas kamu berpikir, kemana sampah plastik itu kemudian dibuang? Apakah didaur ulang? Apakah berhenti di tempat pembuangan akhir (TPA)? Apakah terbuang ke aliran sungai yang bermuara ke laut? Apakah semakin sesak memenuhi ruang di belahan bumi ini?

Ada 7,3 miliar jumlah penduduk di bumi. 264 juta di antaranya adalah warga Indonesia. Seandainya satu orang membuang satu saja sampah plastik setiap hari, berapa ton plastik yang diproduksi manusia, hanya dalam sehari?

Faktanya, hanya 7 persen sampah di Indonesia yang dilakukan mengomposan dan daur ulang. Dan 69 persen berhenti di penimbunan TPA. (data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017). Sayangnya, terus bertambahnya penduduk bumi tidak berbanding lurus terhadap bertambahnya perhatian mereka terhadap lingkungan.

Lalu, jika manusia tetap abai, kira-kira butuh waktu berapa tahun lagi untuk kita bisa tinggal nyaman di bumi?

Saya rasa, hal-hal kecil bisa kita mulai dari diri sendiri. Misalnya, membawa botol atau tumbler minuman untuk mengganti konsumsi air minuman dalam kemasan plastik; membawa tas saat berbelanja; dan hal-hal lain yang bisa mengurangi produksi sampah plastik.

Pun ada banyak komunitas yang bisa diikuti. Memanfaatkan media sosial untuk mengikuti akun-akun cinta lingkungan, salah satunya.

Saya ingin memulainya bersama teman-teman. Sampahmu tanggungjawabmu! Yuk mulai peduli terhadap hal-hal kecil yang sebetulnya akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup bersama.

Selasa, 08 Mei 2018

Tak Kenal Budaya Marung

Masakan rumahan. Sumber: Google.

Sore tadi aku makan di kos. Sambil nyeruput kuah sayur bening lauk tongkol, aku mbatin, “Iya ya. Kenapa tadi nggak makan di warungnya aja ya?”

Hari ini aku nggak ngantor. Selain karena kurang enak badan akibat boyok’en, ingin menikmati selonjoran di kos sambil leha-leha. Meski puluhan pesan Whatsapp tak terelakkan akibat kantor yang lagi hectic-hectic-nya.

Setelah mbungkus makan dari warung Buk Mar, pulang dan makan di kos. Padahal, warung Buk Mar mepet banget sama kos. Kok ya sempatnya aku ganti baju, mbungkus makan, lalu pulang lagi untuk makan. Kenapa nggak sekalian makan di sana aja, coba.

Bisa jadi ini alam bawah sadar akibat tradisi di rumah.

. . .

Aku dibesarkan di tengah keluarga yang nggak punya tradisi marung, makan di warung. Hingga umur 25 tahun ini, kalau tidak salah ingat, belum pernah aku makan bersama bapak ibu di sebuah warung dengan sengaja.

Bapak membiasakan kami sekeluarga untuk menjalankan sholat fardhu berjamaan di rumah. Sehingga, hampir tidak pernah, kami menjalankan sholat di luar rumah. Kecuali saat-saat tertentu dalam acara sekolah atau keluarga, misalnya.

Sementara ibu, mendidik kami untuk tidak makan di luar rumah. Ia selalu bertanya “Makan dimana tadi?” ketika kami pulang rumah terlambat. Entah bagaimana Ibu selalu ‘memantau’ dimana kami makan.

Akupun masih ingat. Saat usia sekolah, tidak boleh nenteng tas sebelum sarapan. Maka itu, meski sudah usia SMA, ibu masih saja suka ndulang (baca: nyuapi) anak-anaknya. Pun, keluar rumah sebelum jam makan siang dan kembali melebihi waktu sholat maghrib, hampir mustahil kami lakukan. Makan seakan menjadi waktu Ibu untuk mengabsen kami.

Aku jadi ingat, waktu itu ibu pun ngasih uang saku ngepres. Sehingga kalau makan di luar rumah, sudah bisa dipastikan kami nggak bisa jajan. Belakangan ketika mulai merantau aku baru tahu bahwa tak semua teman-teman merasakan hal ‘beruntung’ itu.

Tahun berganti tahun. Rupanya, kebiasaan 'nggak pernah marung' itu belum sepenuhnya hilang. Hampir 7 tahun hidup di Surabaya dengan kos tanpa dapur, alih-alih makan enak di warung tanpa ribet cuci piring, aku lebih suka mbungkus dan makan di kos. Padahal yaa, di kos juga makan sendirian.

(*)

Minggu, 25 Maret 2018

Di antara Sekian Banyak Kejahatan di Muka Bumi Ini, Yakinlah Bahwa Masih Banyak Orang Baik


Sumber gambar: google



Di antara hal-hal konyol yang saya lakukan beberapa kali di minggu ini, membuntuti laki-laki, tepatnya bapak-bapak cukup tua, adalah salah satunya. Akhir pekan minggu lalu saya pergi ke mangrove Wonorejo, Surabaya, sekitar 12 km jaraknya dari tempat saya kos. Saya ke sana sendirian, hanya untuk menikmati naik perabu melintasi hutan mangrove, membawa bekal, membaca edisi khusus hari Minggu dari salah satu koran nasional, tidur, naik perahu lagi dan kembali ke kos. Saya sendirian di antara rombongan lain yang sengaja piknik.

Kembali ke, membuntuti seorang bapak-bapak tua.

Satu di antara sistem pemesanan tiket kereta api yang tidak manusiawi bagi saya adalah membuat orang menunggu, mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiket kereta api lokal rute Blitar-Surabaya dan sebaliknya. Ini yang saya lakukan setiap ingin pulang ke kampung halaman menggunakan fasilitas kereta api.

Pagi tadi, setelah menyelesaikan cucian dan kemudian mandi, pukul 7 saya bergegas menuju Stasiun Surabaya Kota, atau orang biasa menyebutnya Stasiun Semut. Saya sudah memikirkan ini sejak semalam. Mencuci pakaian pagi-pagi, lantas pergi ke stasiun untuk memesan tiket agar tidak kehabisan. Saya berencana pulang minggu depan. Selain karena long weekend tiga hari, ada sepupu yang melangsungkan pernikahan. Juga ada tante beserta anak cucunya yang datang jauh-jauh dari Jakarta.

Benar saja. Pukul setengah delapan kurang saya sampai di stasiun, saya mendapat nomor antrean 181. Saya berpikir mungkin orang-orang sudah ‘ngejib’ nomor antrean sejak subuh tadi. Dalam beberapa pengalaman, dengan nomor antrean sekian, mungkin mendekati jam 2 siang nomor saya baru dipanggil.

Saya suka jengkel tentang hal ini. Orang harus menunggu selama itu, di tengah hari Minggu yang menjadi hari satunya-satunya libur bagi sebagian besar para pekerja swasta, demi untuk bisa menggunakan salah satu transportasi mode kereta api.

Sambil mengisi formulir, tiba-tiba seorang laki-laki, tepatnya bapak-bapak, yang berdiri tak jauh di depan saya menyodorkan selembar nomor antrian. Saya spontan terkejut, juga senang melihat nomor antrean tertulis 141.

Aku: “Whaaa, Bapak ini buat saya?”

Si bapak mengangguk dan tersenyum. Lumayan, beberapa puluh nomor lebih cepat dari nomor antrean yang saya dapat. Lalu ia menanyakan beberapa pertanyaan klise.

Bapak: “Mau ke mana, Mbak?”
Aku: “Ke Blitar, Pak.

Belum puas dengan jawaban saya, si bapak bertanya lagi.

Bapak: “Blitar mana, Mbak? Buat tanggal berapa?”
Aku: “Hari Minggu, Pak. Tanggal sekian.”
Bapak: “Sama, Mbak, saya juga. Pesan pakai formulir saya saja, Mbak, nomor antrean saya 25.”


Sebetulnya saya sangat senang menerima tawaran itu. tapi saya menolak halus karena saya berencana membeli dua tiket, satu untuk saya dan satu untuk teman saya. Formulir si bapak hanya cukup untuk satu nama saja, tak bisa menambah penumpang lain. Tapi, si bapak memaksa memasukkan nama teman saya. "Njajal mbak siapa tau bisa". Kata dia kekeuh.

Singkat cerita. Si bapak memasukkan nama saya di formulirnya. Lalu, nama teman saya, ia titipkan di formulir pemesan lain yang duduknya berdekatan dengan tempat si bapak duduk. Yang benar saja. Saya benar-benar sungkan. Saya sudah menolaknya tapi si bapak memaksa. “Kasihan temannya Embak.” Padahal doi gak kenal, gaes. .

Beberapa kali saya mengucapkan terimakasih dan meminta maaf karena telah membuat repot. Beberapa kali pula si bapak bilang tidak masalah. “Nggakpapa, Mbak. Saya malah senang kalau bisa membantu,” katanya. Saya cuma bisa terenyuh.

Di sela-sela obrolan, si bapak bilang bahwa dirinya bekerja di percetakan yang terletak di daerah Kenjeran. Keluarganya tinggal di salah satu desa di Blitar. Sekali dalam dua minggu ia pasti pulang. Sabtu sore sepulang kerja, dan kembali ke Surabaya pada Minggu sore.

Bapak: “Tapi dua minggu setelah minggu depan nanti nggak pulang, Mbak. Karena belum gajian. Hehe,” ucapnya sambil tersenyum.

Kira-kira pukul 10 antrean si bapak dipanggil. Beberapa saat setelah memberikan tiket kepada saya, si bapak menyalami saya, lalu kami berpisah. Saya menuju parkir sepeda motor, sementara si bapak, entah dimana. Saya sempat memerhatikan seluruh sisi tempat parkir motor, tapi tidak mendapati beliau. Saya cuma mbatin, “Naik apa si bapak tadi?"

Selesai di situ, dengan perasaan riang gembira saya meninggalkan stasiun. Saya pun sudah melupakan kemana si bapak pergi. Masih beberapa meter berjalan, ndilalah di depan, saya melihat si bapak ngonthel.

Mendadak hati saya nelongso. Jauh-jauh dari Kenjeran ke stasiun Surabaya Kota dengan naik sepeda onthel. Saya tak banyak pengetahuan tentang jenis sepeda yang ia gunakan. Yang pasti, di antara ratusan pengguna jalan hari itu, hanya dia yang mengayuh sepeda. Hiruk pikuk jalanan, di antara ratusan orang yang sibuk dengan urusannya, pengendara yang gemar sekali menainkan klakson usai lampu hijau menyala, si bapak dengan mantap mengayuh sepeda lagi dan lagi.

Hati saya makin tak karuan

Saya tak tahu perasaan apa yang menyelimuti saya. Di tengah terik panas udara Surabaya, saya membuntuti si bapak melintasi berbelok-belok jalan raya. Saya tak banyak ingat jalan apa saya yang kami lalui. Kalau tidak salah ingat, Jl Kapas Krampung, Jl Kenjeran, dan Jl Lebak Jaya. Di tengah terik udara Surabaya yang panas. Beberapa kali saya berhenti, hanya agar si bapak tidak mengetahui keberadaan saya yang naik sepeda motor di belakangnya.

Setelah berbagai jalan terlalui, akhirnya, si Bapak berbelok pada gang kecil bertulis Lebak Jaya II. Saya pun menghentikan pembuntutan (eh kok pembuntutan ya ☹ ) Setelah pulang ke kos, saya cek di google bahwa jarak itu 6.1 km. Hampir serata dengan jarak rumah saya ke SMA di Blitar, hampir setara jarak rumah ke sawah sewaan tempat Bapak bekerja ketika saya masih kecil.

Seorang laki-laki tua, jauh-jauh dari sebuah desa di Blitar merantau di Surabaya, memesan tiket kereta api untuk menuntaskan rindunya dengan keluarga dan kampung halaman, dengan naik sepeda onthel. Apa, itu satu-satunya alat transportasi yang ia punya?

Sepanjang perjalanan ke kos saya melamun, lebih tepatnya pikiran saya nggrambyang entah kemana. Di tengah jalan, di tengah padatnya lalu lintas Surabaya, lagi-lagi ada keyakinan yang menguat: betapapun banyak kejahatan di muka bumi ini, yakinlah bahwa masih banyak orang baik.

Jumat, 16 Maret 2018

Mengungkap Tragedi 98 Lewat Laut Bercerita

Sumber: salihara.org



Pernahkah anda membayangkan, orang terdekat anda, mungkin kakak, adik, saudara, bahkan anak, (di)hilang(kan) dan tak pernah kembali lagi? Jika masih hidup, ada dimana dia? Jika memang telah meninggal, dimana jasadnya dikuburkan? Adakah yang lebih menyedihkan dari menunggu sesuatu tanpa kepastian?

Leila S. Chudori menggambarkan cerita dengan sangat apik lewat novel Laut Bercerita. Novel yang kemudian difilmkan ini disambut antusias dalam diskusi-diskusi yang digelar di beberapa kota di Indonesia. Saya termasuk salah satu yang antusias membaca novelnya, mononton filmnya, dan mengikuti diskusinya.

Di kampus tempat saya kuliah, usai pemutaran film, suasana haru menyelimuti ratusan peserta, para penulis buku, saksi hidup, juga orangtua yang datang. Laut Bercerita berdurasi 30 menit, berkisah tentang seorang tokoh bernama Biru Laut, aktivis mahasiswa yang mati sebelum akhirnya disiksa berbulan-bulan dan ditenggelamkan ke dasar laut.

Film yang kemudian dibintangi oleh Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo, Ayushita Nugraha, dkk itu didiskusikan di FISIP dan dibedah bukunya di FIB UNAIR. Sebagai penulis, Leila mengaku, UNAIR dipilih sebagai kampus roadshow mengingat ada kaitan sejarah dengan novel yang ia tulis. Ialah Bimo Petrus Anugrah dan Herman Hendrawan, aktivis mahasiswa asal FISIP UNAIR yang hilang.

Tentang Novel dan Film

Novel ini ditulis Leila dengan penceritaan yang sangat detail. Beberapa kali saya ngilu membaca bagian penyiksaan, juga keluarga yang pilu menunggu anaknya pulang, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bahkan saya merasakan kecemasan berhari-hari usai membaca novelnya. Merasakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi kita hari ini salah satunya ditebus oleh perjuangan para aktivis mahasiswa.

Bagaimana tidak. Novel ini ditulis hampir 10 tahun lamanya. Dalam risetnya, mulanya Leila melakukan in-depth interview terhadap Nezar Patria, salah satu aktivis yang sempat diculik dan disiksa, hingga kemudian dibebaskan.

Leila juga mengunjungi Blangguan, Situbondo, dan hamparan tanaman jagung agar bisa membayangkan bagaimana perjuangan kelompok mahasiswa membela petani yang lahannya akan digunakan sebagai lapangan latihan militer.

Laut Bercerita adalah novel kedua Leila setelah Pulang, novel yang juga mengisahkan tragedi pilu dengan latar peristiwa tahun 1965. Leila menuturkan, setiap penulis harusnya selalu menekankan kemanusiaan dalam setiap karya-karya mereka.

Sementara dalam film, karena keterbatasan durasi dan tentu sebuah film tidak akan bisa menggambarkan semua isi dalam buku, Laut Bercerita cukup bisa divisualisasikan dengan apik hingga merasuk ke dalam emosi penonton. Tak sedikit peserta dalam diskusi menitikan air mata dalam beberapa scene yang haru.

Dalam kesempatan itu, saya cukup merinding mendengar pernyataan D. Utomo Rahardjo ayah Bimo Petrus di hadapan ratusan mahasiswa dan para pembicara.

31 Maret nanti genap 20 tahun saya berjuang malang melintang bolak-balik Malang, Surabaya, Jakarta, untuk mencari keadilan di negeri ini. Saya tidak berharap anda menjadi Bimo Petrus atau Herman. Tapi paling tidak, mahasiswa tahu bahwa di kampus UNAIR ini, pada saat itu, ada anak-anak yang berani melawan arus dan memperjuangkan hak-hak dari mereka yang terpinggirkan," kata Bapak Oetomo.

Bersamaan dengan rasa haru, pernyataan itu diikuti riuh tepuk tangan seisi ruangan.

Barangkali, kita semua tidak bisa mengembalikan 13 aktivis dan belum ada penjelasan dari pemerintah terkait hilangnya mereka. Namun, dengan membaca dan menonton Laut Bercerita, paling tidak kita yang mungkin belum cukup umur untuk mengerti peristiwa yang terjadi ketika itu, bisa memiliki gambaran tentang peristiwa tahun 98.

Kini, perjuangan mungkin bukan lagi untuk melawan orde baru. Usai melihat kenyataan bahwa bangsa ini pernah melakukan kejahatan bahkan kepada rakyatnya sendiri, mungkin dengan jengkel sebagian masyarakat/mahasiswa akan bertanya, “Lantas, perjuangan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan?

Menurut hemat saya, perjuangan para pemuda kini adalah memperjuangkan cita-cita sesuai passion yang ia miliki. Pengajar, penulis, pejuang HAM, apapun. Berjuang dalam koridornya masing-masing untuk perbaikan bersama bangsa ini. Sehingga kelak, melalui generasi yang terus belajar dan membangun, negara ini akan berjaya pasa saatnya.

*Dipublikasikan di Harian Surya, 15 Maret 2018

Rabu, 07 Maret 2018

Perihal Larangan Mahasiswa Bercadar

Sumber gambar: pixabay



Beberapa hari yang lalu, ramai beredar di media sosial tentang larangan mahasiswi bercadar ketika melakukan aktivitas di wilayah kampus. Ialah rektor universitas Islam negeri di Yogyakarta. Kota pelajar yang bahkan, dikenal memiliki kemajemukan masyarakat yang tinggi.

Sekilas saya mengikuti dari portal berita yang muncul di time line akun Twitter. Perihal hal ini, saya sangat setuju dengan tanggapan rektor tempat saya kuliah dan bekerja. Usai konferensi pers penganugerahan gelar doktor kehormatan Dato’ Sri Tahir -laki-laki berdarah tionghoa terkaya nomor lima di Indonesia- rektor mengatakan bahwa sejauh ini, kampus yang ia pimpin tidak/belum memiliki aturan terkait mahasiswi bercadar di lingkungan kampus.

Saya mungkin di antara yang cukup lega dengan pernyataan rektor. Sebab, cadar adalah hak perpakaian setiap perempuan beragama Islam yang melakukan. Hak atas keputusan memakai cadar bagi saya sama halnya dengan keputusan untuk berhijab maupun tidak. 

Islam memang memiliki aturan tentang cara berpakaian. Bahkan dalam fiqih islam, ada mazhab yang mewajibkan perempuan untuk bercadar. Namun, institusi pendidikan di bawah pemerintahan, apalagi di Indonesia dengan masyarakat yang multikultur, semestinya lebih dewasa dalam membaca perilaku akademisi yang bernanung di dalamnya. Termasuk, pilihan untuk menggunakan cadar.

“Yang harus kita cermati adalah ideologi di balik cadar yang ia pakai,” begitu kata Pak Rektor.

Barangkali, kesalahan dari sebagian masyarakat adalah menjustifikasi perempuan bercadar dengan kepemilikan ideologi radikal. Bagi saya pribadi, sepanjang yang bersangkutan tidak terlibat dalam gerakan tertentu yang bersifat radikal dan mengancam kebinekaan, berpakaian menggunakan cadar adalah hak, adalah kebebasan yang tak semestinya dibatasi.